Pada edisi minggu kedua (September 1975) cerpennya berjudul,’’ Airmata Ibuku’’ dimuat di majalah anak-anak Si Kuntjung dan mendapat honorer sebesar Rp 125. Sedangkan edisi bulan berikutnya (minggu ketiga Oktober 1975), puisi berjudul, ‘’Miskin’’ dan ‘’Sepatu Bolong’’ dimuat di majalah yang sama.
Tahun 1976 ikut bergabung dengan Sanggar Seni Kenari Putih asuhan Chaidir Tandjung. Di sanggar ini, ia diminta untuk ikut memperkuat sandiwara televisi (sinetron)di TVRI Stasiun Palembang berjudul,’’ Rambun Pamenan’’. Saat itu Anto Narasoma berperan sebagai Sutan Muda mendampingi peran utama (Guswan Marsoni) Rambun Pamenan (medio April 1976).
Selanjutnya, Februari 1977, ikut menggarap cerita Minang ‘’Datuak Bulu Basi’’ bersama Sanggar Kenari Putih di TVRI Stasiun Palembang. Desember 1977, Anto Narasoma membuat antologi puisi tunggal (berbentuk manuskrip) ‘’Bias-bias Hidup’’.
Di tahun itu juga ikut bergabung dengan Teater Kridayana bersama Anwar Putra Bayu, Suharno Manaf BA. Selama setahun mendalami dunia teater ia terus mengembangkan kemampuan menulisnya. Akhirnya, pada 1978 bersama Anwar Putra Bayu, Wahid Chantoro, Yan Romain, Harris Mono Chinnamon (sutradara sinetron di TPI), dan Eko D. Putra (sutradara sinetron di Indosiar) membentuk Teater SAS (Sabda Angin Selatan). Tahun 1981 menampilkan pementasan ‘’Dokter Gadungan (Sgenerelle)’’ karya Mollier di Taman Budaya Sriwijaya.
Tahun 1985 mementaskan lakon Raden Fatah karya Robin Surawidjaja di pelataran Museum Sultan Machmud Badaruddin II. Sedangkan tahun 1986 bersama Teater Potlot ikut berperan sebagai walikota dalam lakon Wong-Wong karya Anwar Putra Bayu dalam festival yang diselenggarakan Badan Koordinasi Teater Sumatera Selatan (BKTS) di Lubuk Linggau. Tahun 1988 menjadi penata musik teater dalam pementasan Jaka Tarub di Auditorium RRI Palembang.
Pertengahan 1991 ada dua momen penting dalam perjalanan karir berteater. Bersama Teater Potlot mementaskan lakon Kursi dan Wong-Wong (naskah Anwar Putra Bayu) di Teater Mobil Deppen Sumsel. Tahun 1992 bersama Teater Potlot menampilkan lakon Patung di teater arena Deppen (areal Taman Budaya Palembanb).
Tahun 1992, bersama Teater Leksi memerankan tokoh kakek sihir dalam sinetron anak-anak Teratai di TVRI Stasiun Palembang. Bahkan, bersama teater potlot menggarap beberapa sinetron di TVRI Stasiun Palembang, dinobatkan oleh sutradara Indrawazie sebagai pemain yang memiliki karakter kuat.
Setelah aktif di surat kabar (bekerja sebagai wartawan) era 1997 hingga sekarang, Anto Narasoma lebih fokus kepada dunia tulis menulis. Serangkaian cerpen, esai sastra, puisi, sejarah SKH Sumatera Ekspres dan novel sedang dalam tahap penyelesaian.
Tahun 2002, bersama wartawan grup Jawa Pos melakukan anjangsana penulisan sastra jurnalis di Selangor, Malaysia (Utusan Malaysia), Singapura (New Strait Time), dan Chutburry Thailand (Lin Pao Newspeper). Sedangkan Agustus 2004 melakukan anjangsana yang sama ke Beijing, Guangzhou, Senzhen, Hong Kong, Shanghai, dan Macau.
Karya yang Dipublikasi:
Karya-karyanya berupa esai budaya (seni), cerita pendek dan puisi sudah dimuat di berbagai media lokal dan ibukota. Antara lain, Buletin Sastra Sayap (Komunitas Sastra Nusantra) bersama Putu Arya Tirtawirya, Herry Lamongan, Bontjel Putra Dewa di Surabaya (edisi ke-VII 1986).
Selain itu, cerpen dan puisinya pernah dimuat di Suara Rakyat Semesta (Palembang), Sriwijaya Post (Palembang), Sumatera Ekspres (Palembang), Lampung Pos (Lampung), Singgalang (Padang), Riau Pos (Riua), dan Mingguan Swadesi (Jakarta).
Kumpulan puisi tunggal ‘’Jejak’’ (manuskrip tahun 1984), Buletin Sayap Surabaya (1986), kumpulan puisi bersama ‘’Bahasa Angin’’ (1994), ‘’Ghirah’’ (1996), ‘’Mernghitung Duka’’ (2000), ‘’Empat Wajah’’ (2002), ‘’Maha Duka Aceh’’ (terbitan Pusat Sstra HB Jassin Jakarta, September 2005), ‘’Semangkuk Embun’’ (Cakrawala Sastra Indonesia di Jakarta, September 2005), ‘’dan Syair Tsunami’’ (terbitan Balai Pustaka Jakarta, Mei 2006).
Sedangkan hingga saat ini selalu menjadi pembicara dan hal seni sastra, teater, musikalisasi puisi, serta juri puisi di Balai Bahasa Palembang, Dinas Pendidikan Nasional Sumsel, di berbagai sekolah dan Perguruan Tinggi. Saat ini, ada sekitar 450 puisi yang belum dipublikasi. Sedangkan cerita pendek masih tersisa 20 judul yang belum dikorankan.
Buku oleh Penulis ini :
Berlangganan untuk mendapatkan informasi dan update terkini dari kami.